Meski Shirin Ebadi meraih Nobel Perdamaian, Pemerintah Iran mengancam diri dan keluarganya, hingga akhirnya Shirin mengungsi ke Inggris
Womenpedia.id – Profesinya sebagai pengacara yang memperjuangkan hak asasi perempuan dan anak di Iran rupanya mengundang perhatian dunia, hingga akhirnya mengantarkan Shirin Ebadi menerima Nobel pada tahun 2003.
Berasal dari Keluarga Terpelajar
Shirin Ebadi terlahir dari seorang Ayah bernama Mohammad Ali Ebadi, yang berprofesi sebagai dosen hukum sekaligus penulis. Sejak kecil, Shirin mendapat pengetahuan tentang hukum dari Ayahnya.
Perempuan kelahiran 21 Juni 1947 di Hamadan, Iran ini terinspirasi dari sang Ayah untuk mendalami hukum. Ia belajar hukum di Universitas Teheran dan menyelesaikan dalam tempo 3,5 tahun.
Setelah meraih gelar sarjana hukum, Shirin magang di dinas kehakiman selama 6 bulan dan akhirnya menjadi hakim di tahun yang sama. Ketika dia telah menjadi hakim, ia melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama dan meraih gelar doktor.
Shirin menjadi ketua pengadilan kota Teheran pada tahun 1975 hingga terjadi revolusi Iran tahun 1979. Dalam catatan sejarah, Shirin merupakan hakim pertama perempuan di Iran.
Lengser Menjadi Hakim dan Pilih Jadi Pengacara
Tahta Reza Pahlevi yang dilengserkan oleh Ayatulla Khomeini yang memperjuangkan revolusi Islam pada tahun 1979 ternyata berdampak pada karir Shirin yang kala itu menjabat sebagai ketua hakim. Kebijakan saat itu adalah perempuan tidak bisa menjabat sebagai hakim. Bersama para hakim perempuan lainnya, dirinya memprotes kebijakan tersebut, namun tuntutan mereka ditolak. Shirin akhirnya memilih pensiun dini dan menjadi pengacara. Selain menjadi pengacara, ia juga mengajar dan menulis makalah. Shirin juga memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak di Iran.
Dirikan Lembaga Bantuan Hukum Hingga Jadi Tahanan
Dari sekian kasus, Shirin lebih banyak menangani kasus pembunuhan dan pelecehan perempuan, di mana hukum Iran kurang mendukung nasib perempuan.
Shirin kemudian membantu para korban dengan mendirikan lembaga bantuan hukum seperti Society for Protecting the Rights of the Child/ Masyarakat untuk Melindungi Hak Anak (SPRC) di tahun 1994 dan Defend of Human Rights Center/ Pembela Pusat Hak Asasi Manusia (DHRC) di tahun 2001.
Upaya untuk memperjuangkan kaum perempuan ini ternyata berujung di penjara. Pasalnya, Shirin membagikan bukti pembunuhan mahasiswa Universitas Teheran yang dibunuh pejabat pemerintah pada tahun 1999. Ia pun ditahan selama tiga minggu pada tahun 2000. Praktik hukumnya juga turut dibekukan, serta dikenai denda.
Raih Penghargaan Nobel Perdamaian
Ketika itu Shirin menjadi kandidat peraih penghargaan Nobel Perdamaian bersanding dengan Paus Yohanes Paulus II. Ternyata, di luar dugaan istri dari Javad Tavassolian justru meraih penghargaan Nobel.
Shirin memang dikenal sebagai pejuang hak-hak perempuan dan anak. Perjuangannya berbuah manis, ia berhasil mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2003. Dirinya terhitung sebagai perempuan peraih Nobel ke-11 sejak penghargaan tersebut digulirkan pada tahun 1901.
Sayangnya, Shirin bukan mendapatkan pujian di negaranya, justru dia mendapat kritik karena tidak memakai cadar.
Sejak mendapatkan penghargaan Nobel, dirinya sering menghadiri kegiatan hak asasi di luar negeri sebagai pembicara atau pengajar. Tapi, sebagai pembela hak asasi dan tahanan politik membawa konsekuensi, yaitu lembaga hukum miliknya ditutup pada tahun 2008.
Pada tahun 2004, medali Nobel dan penghargaan lain diambil oleh pemerintah Iran. Desakan yang diberikan Pemerintah Irah saat itu menghimpitnya, akhirnya ia memutuskan mengungsi ke Inggris. Meski tinggal di pengungsian, Shirin tetap menyuarakan hak asasi manusia di negaranya.