Rohana Kudus, Pejuang dan Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia

Rohana Kudus, Pejuang dan Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia
Rohana Kudus yang memperjuangkan kaum perempuan sekaligus jurnalis perempuan pertama mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2019.

Womenpedia.id – Ruhana Kuddus atau dikenal dengan sebutan Rohana Kudus lahir Koto Gadang, Kecamatan Ampekkoto, Sumatera Barat adalah pejuang dan jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Atas dedikasinya memperjuangkan perempuan, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2019 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 120 TK Tahun 2019 Tahun 2019 tanggal 7 November 2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Tumbuh di Lingkungan Gemar Membaca

Rohana yang lahir pada 20 Desember 1884 merupakan putri dari pasangan Muhammad Rasyad Maharajja Sutan dan Kiam ini terbiasa dengan lingkungan gemar membaca.

Ayah Rohana merupakan juru ketik pemerintah Hindia-Belanda yang bekerja di Alahan Panjang. Di sana, ia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan Sutan. Sutan memiliki istri bernama Adiesa. Namun, karena tidak memiliki anak, Rohana kerap diajak bermain dirumahnya dan dianggap sebagai anak sendiri.

Read More

Selain bermain, Rohana diajarkan baca-tulis-hitung, Setelah dua tahun diajari Adiesa, Rohana dapat menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Rohana juga dapat berbahasa Belanda pada usia 8 tahun.

Untuk mengembangkan kemampuan Rohana, Ayahnya berlangganan buku dongeng anak terbitan Medan, Berita Ketjil. Sutan juga membelikan buku cerita terbitan Singapura atau mendapatkan buku-buku cerita dari pegawai Belanda.

Sang Ayah juga menjadikan rumahnya sebagai tempat bermain, sekolah, membaca buku, majalah, dan surat kabar. Tidak heran bila Rohana terbiasa dengan dunia menulis.

Menyuarakan Nasib Perempuan

Rohana yang hidup sezaman dengan Raden Dewi Sartika dan R. A. Kartini, di mana ia lebih tua 16 hari dari Raden Dewi Sartika dan lebih muda empat tahun dari RA Kartini ini justru mengawali kiprah lebih dulu dibandingkan R.A Kartini.

Ketika itu, sekolah untuk para putri pribumi belum tersedia, maka Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang mengajarkan keterampilan di Koto Gadang pada tahun 1911.

Rohana Kudus, Pejuang dan Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia
Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang mengajarkan keterampilan di Koto Gadang didirkan pada tahun 1911

Perempuan yang menikah pada tahun 1908 dengan Abdoel Koeddoes, seorang penulis, notaris, dan aktivis pergerakan, mengatakan pada suaminya bahwa mengajar saja tidak cukup. Rohana ingin bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh murid-muridnya juga menyebar kepada perempuan-perempuan lain di daerah lain.

Kiprah Jurnalistik

Rohana kemudian mengirimkan surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe di Padang. Ia menyampaikan keinginannya agar perempuan mendapatkan pendidikan setara dengan lelaki dan mengusulkan ada tulisan-tulisan khusus perempuan.

Setelah mendapatkan surat tersebut, Maharadja mengunjungi Rohana di Koto Gadang. Dalam pertemuan tersebut, Rohana mengusulkan bahwa tidak sebatas tulisan perempuan di Oetoesan Melajoe saja, tapi juga surat kabar khusus perempuan.

Usulan Rohana diterima Maharadja dan ia meminta putrinya, Ratna Juwita Zubaidah yang akan mengurus surat kabar khusus perempuan bersama dengan Rohana. Lalu, terbitlah Soenting Melajoe. Soenting atau Sunting artinya perempuan dan Melayu karena diperuntukkan bagi perempuan di tanah Melayu.

Soenting Melajoe terbit pertama pada 10 Juli 1912 dengan waktu terbit seminggu sekali dengan panjang 4 halaman. Biaya berlangganan 1.80 gulden (ƒ1.80) per tahun atau 0.45 gulden (ƒ0.45) per tiga bulan. Persebaran surat kabar ini meliputi seluruh Minangkabau dan Sumatera, juga Malaka dan Singapura. Biaya langganan di luar Hindia Belanda yakni 2.60 gulden (ƒ2.60).

Tulisan Soenting Melajoe ini beragam selain tulisan berbahasa Belanda yang dikerjakan Rohana, ada pula tulisan para kontributor, sejarah dan puisi.

Ketika Rohana pindah ke Medan tahun 1920, ia bekerja sama dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Saat dirinya kembali ke Minangkabau pada tahun 1924, Rohana diangkat sebagai redaktur surat kabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang.

Seluruh tulisan Rohana didominasi berisi ajakan bagi kaum perempuan lebih maju. Ia juga mengkritik prakti pergudikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada para perempuan Indonesia, perkerjaan tak manusiawai di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.

Penerima Sejumlah Penghargaan

Rohana merupakan sepupu H Agus Salim yang juga pahlawan nasional, bersaudara juga dengan Sutan Syahrir, sekaligus bibi dari penyair Chairil Anwar juga menerima sejumlah pehargaan. Sebut saja, Brozen Ster tahun 1941, penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto tahun 1987, dan Penghargaan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2007.

Related posts