Rabiah al-Adawiyah, Seorang Sufi yang Ingin Membakar Surga dengan Obor

Rabiah al-Adawiyah, Seorang Sufi yang Ingin Membakar Surga dengan Obor
Istimewa

Rabiah al-Adawiyah, Seorang Sufi yang Ingin Membakar Surga dengan Obor.

Profil Singkat

Rabiah al-Adawiyah, Seorang Sufi yang Ingin Membakar Surga dengan Obor
Istimewa

Nama

Rabiah Al-Adawiyah

Kelahiran

718 M, Basra, Irak

Meninggal

801 M, Basra, Irak

Read More

Buku

Chants de la recluse, Dichos y canciones de una mística sufí (siglo VIII)

Aliran

Islam Sunni, Shafi’i

Era

Khalifah Dinasti Umayyah

Gagasan penting

Sufisme, Zahid, Asketik

Lahir

713-717; Bashrah, Irak

Rabiah Al-Adawiyah (Arab: رابعة العدوية القيسية‎) dikenal juga dengan nama Rabi’ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi’ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin ‘Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan al-Qaysyah.

Menjadi sufi sejak dilahirkan

Diceritakan oleh Fariduddin Al-Attar, bahwa pada saat beliau dilahirkan tidak ada satupun barang berharga yang ada dirumahnya, bahkan setetes minyak untuk mengoles pusar Rabi’ah pun tidak ada, apalagi minyak yang digunakan untuk menerangi rumahnya. Di dalam rumah itu, juga tidak ada sehelai kain yang dapat digunakan untuk menyelimuti putri kecil yang baru saja lahir di dunia.

Terlahir di keluarga yang sangat miskin, lantas tak membuat ayah Rabiah (Ismail) meminta kepada orang lain meskipun beliau sangat membutuhkannya. Di saat kelahiran putri keempatnya itu, istri Ismail menyarankan agar meminta batuan kepada tetangga untuk memita sedikit minyak.

Namun, dalam diri Ismail tentang meminta, itu bertentangan dengan prisnsip yang beliau pegang teguh pada dirinya. Pada malam itu, ayahnya bersumpah bahwa beliau tidak akan meminta bantuan kepada sesama manusia. (bahwasanya seorang sufi hanya akan bergantung kepada Tuhan saja dan bukan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhanya).

Dikatakan juga, pada malam itu, ketika ayah Rabi’ah tertidur beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, dan beliau bersabda, “Janganlah engkau bersedih, sebab anak perempuan yang baru dilahirkan itu, kelak akan menjadi perempuan yang utama, yang nanatinya dari tujuh puluh ribu umatku akan membutuhkan syafa’atnya.”

Di dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW memerintahkan pada Ismail untuk menemui Isa Zaidan pada esok hari. Dengan meyampaikan isi surat itu: “Hai amir, engkau biasanya membaca shalawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali tiap malam Jum’at. Tetapi dalam Jum’at terakhir ini engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas kelalaianmu.”

Mimpi itu membuat ayah Rabiah bangun dan menangis, lantas beliaupun segera beranjak dari tempat tidurnya dan menulis surat dan mengirimnya kepada Amir. Ketika Amir telah selesai membaca surat itu ia berkata, “Berikan duaribu dinar kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan jenggotku.”

Dari mimpi itulah, dikatakan bahwa Rabiah al-Adawiyah merupakan seorang wanita pilihan yang terlahir menjadi seorang sufi. Peristiwa yang terjadi pada beliau, tidaklah mungkin terjadi tanpa alasan, hal itu terjadi hanya kepada orang pilihan yang Allah SWT ridai. dimana dikatakan bahwa orang pilihan tersebut, merupakan salah satu tanda akan kebesaran dan kekuasanya. Maka tidak akan ada hal yang tidak mungkin terjadi di dunia ini, tanpa rida-Nya.

Pendidikan Rabi’ah Al–Adawiyah

Diceritakan oleh Abdul Mu’in Qandil dan Athiyah Kamis, bahwa sejak kecil Rabi’ah sudah seperti orang dewasa, ia seakan-akan telah paham dan dapat merasakan kondisi yang dialami oleh orang tuanya, sehingga ia menjadi pendiam, tidak banyak menuntut kepada orang tuanya, sebagaimana layaknya gadis kecil yang menginjak remaja. Keistimewaan dan kekuatan daya ingat Rabi’ah juga telah dibuktikan sejak masa kanak-kanak. Al-Qur’an dihafalnya sejak usia 10 tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Qur’an ini dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Bila telah berhasil menghafal ia duduk lalu mengulanginya kembali dengan penuh khusyu’, penuh iman yang mendalam dan pemahaman yang sempurna.

Tidak jarang pula ayah Rabiah melihat putrinya mengasingkan diri, bermuka muram dan sedih, selalu dalam keadaan terjaga untuk beribadah kepada Allah tak ubahnya seperti tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Permasalahan berikut yang patut untuk dikaji adalah bagaimana pendidikan Rabi’ah pada masa anak-anak. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Rabi’ah tidak pernah sekolah secara “formal” semisal al-kuttab, namun Rabi’ah dididik secara langsung oleh orang tuanya.

Ayah Rabi’ah menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan bisa menyekat kesempurnaan batiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa oleh ayahnya ke sebuah Mushalla yang berada di pinggiran kota Basrah. Kegiatan tersebut dimaksudkan agar Rabi’ah terhindar dari polusi akhlaq yang melanda kota Basrah. Letak mushalla itu jauh dari kebisingan dari hiruk pikuk keramaian. Di tempat inilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan sang Khaliq Yang Maha Kuasa.

Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut, seseorang akan mudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Inilah kiranya yang dapat dikategorikan sebagai “pendidikan khusus” yang diperoleh semasa kecil, dengan ayahnya sebagai guru. Sistem yang diterapkan oleh ayah Rabi’ah dalam mendidik putrinya merupakan bagian dari pendidikan informal yang diperoleh dalam lingkungan keluarga. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud merupakan satu lingkungan yang besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.

Pengaruh terhadap perkembangan sufisme

Ajaran-ajaran Rabiah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi’ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antaramereka adalah Abu Thalib al-Makki, As-Suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi’ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

Akhir hidup

Sekembalinya Rabiah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi’ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi’ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi’ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.

Related posts