“Pengabdian Dokter” diwujudkan sosok Dokter Dian Ricarianty Azis yang tak sekedar menyandang title dokter, melainkan terjun langsung menjadi relawan kesehatan dengan segudang pengalaman mulai dari menjadi relawan Covid-19 hingga ke wilayah 3T Indonesia.

Profil Singkat
- Nama : Dian Ricarianty Azis, dr.
- Kelahiran : Bone, 09 November 1993
- Orangtua: Abd Azis dan Sudiana
- Pendidikan: Kepaniteraan Klinik Dokter Universitas Tadulako
2016-2019 - Pekerjaan: Dokter Umum dan Relawan Kesehatan
- Organisasi: Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jakarta Selatan, Dewan Pengurus Administrasi dan Tata Kelola Emergency Medical Team Ikatan Dokter Indonesia (EMT IDI)
Tim Riset RSDC Wisma Atlit - Hobi: Flyer Design, Menyanyi, Gitar
Womenpedia.id– Pintar saja tak cukup, Dokter Dian Ricarianty Azis menunjukkan pentingnya tekad yang kuat dan dedikasi tinggi untuk menjadi seorang dokter.
Banyak orangtua yang menginginkan anak-anak mereka berprofesi menjadi seorang dokter. Dokter berperan penting dalam kehidupan manusia. Sejak berada di dalam kandungan ibu hingga menjadi lansia, peran dokter menjadi salah satu yang paling penting.
Namun, untuk menjadi seorang dokter, seseorang harus melewati tahapan-tahapan yang tidak bisa dibilang mudah. Bahkan setelah menjadi dokter pun, perjuangan belum berakhir.
Tak hanya pintar, Dokter Dian Ricarianty Azis menunjukkan bagaimana seorang dokter harus memiliki dedikasi tinggi dalam melaksanakan profesinya yang mulia. Tak semua dokter seberuntung Dian. Perempuan yang aktif dalam Dewan Pengurus Administrasi dan Tata Kelola Emergency Medical Team Ikatan Dokter Indonesa (EMT-IDI) tersebut memiliki pengalaman kerja yang variatif selama 3 tahun terakhir.
Mulai dari menjadi relawan dokter relawan di Rumah Sakit Covid-19 Wisma Atlit Kemayoran, menjadi dokter PTT di daerah terpencil, dokter magang bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM, hingga menjadi dokter jaga klinik yang juga merambah dunia jurnalistik media cyber di Indonesia.
Pengabdian Dokter Dian Jadi Relawan Kesehatan
-
Tekad Kuat Mewujudkan Cita-cita Mulia
Dian adalah putri sulung dari empat bersaudara, ia dibesarkan oleh orangtua yang terpelajar. Ayah Abd Azis seorang guru SMA di Kabupaten Bone dan Ibu Sudiana sebagai guru SD tak hanya memfasilitasi Dian dalam hal pendidikan formal, mereka tak henti-hentinya mendukung Dian dalam mengembangkan potensinya.
Berawal saat di bangku SMP, Dian senang menonton reality show TV tentang “Pengabdian Dokter”. Lewat tayangan tersebut ia menyaksikan betapa mulianya kehidupan dokter yang mendedikasikan diri untuk mengabdi di daerah terpencil dengan sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas.
Semua itu membuat Dian memiliki tekad agar bidang ilmu yang ia tekuni dapat menjadi sarana bagi dirinya untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara, bermanfaat untuk orang lain, dan berdedikasi tinggi untuk masyarakat.
Saat ini perempuan kelahiran Bone, 9 November 1993 itu berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter setelah menempuh Program Studi Pendidikan Dokter di Universitas Tadulako sejak tahun 2012 hingga tahun 2016.
-
Ketika Gempa 7,4 SR Guncang Palu
Di tengah kesibukannya saat masih menjadi mahasiswa kedokteran, Dian aktif di berbagai kegiatan bakti sosial seperti penyuluhan kesehatan dan sunat massal yang dilakukan di desa-desa terpencil di Palu, Sulawesi Tengah.
Keterampilan sosial dan rasa peduli yang dimiliki Dian terhadap masyarakat terasa sangat melekat dalam dirinya pascabencana gempa dan tsunami di Palu yang terjadi pada 28 September 2018.
“Masih teringat jelas bagaimana gempa berkekuatan 7,4 SR mengguncang tanah tempat kami berpijak, jalan terbelah seperti ombak, serta bangunan-bangunan ambruk,” kenang Dian.
Tak hanya gempa, saat itu Kota Palu, Sigi, dan Donggala juga disapu gelombang tsunami. “Bencana berlanjut dengan tsunami dan likuifaksi yang menyapu rata tiga daerah tersebut yang menyebabkan ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu korban tinggal di pengungsian. Hari itu mungkin menjadi hari paling mengerikan dalam hidup saya.”

Minimnya pertolongan tanggap bencana dan keterlambatan penanganan medis pascagempa menyebabkan tingginya angka korban yang tak tertolong.
“Berkaca dari peristiwa ini saya kemudian berpikir bahwa ternyata kita memiliki problem besar terkait tanggap bencana, khususnya di klaster kesehatan. Apa yang terjadi di Sulteng hanyalah satu dari banyak rangkaian peristiwa bencana di Indonesia,” ucap Dian.
-
Jadi Relawan Covid-19
Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 menjadi tren bencana yang tidak terprediksi tingkat keparahannya. Lonjakan kasus merebak, angka morbiditas dan mortalitas meningkat setiap hari. Tenaga kesehatan kewalahan dan kelelahan akibat wabah Covid-19.
Saat itulah Dian memulai karirnya sebagai dokter umum menjadi relawan di Rumah Sakit Covid-19 Wisma Atlit Kemayoran sebagai relawan meskipun hal tersebut menjadi keputusan yang sulit dan dilematis.
Keraguan muncul dari orangtuanya yang tak ingin membiarkan anaknya bertaruh nyawa terhadap ancaman virus Covid-19. Namun, Dian berhasil meyakinkan keluarganya bahwa hal yang ia lakukan merupakan bentuk profesionalisme sebagai seorang dokter.
Selama menangani pasien Covid-19 Dian menghadapi berbagai variasi kasus yang kompleks. Banyak pasien yang membutuhkan terapi khusus karena adanya gejala yang diperparah dengan penyakit penyerta seperti riwayat hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan lain sebagainya. Sementara saat itu belum ada penerapan protokol yang jelas mengenai terapi yang harus dijalankan.
Hal tersebut membuka cakrawala berpikirnya bahwa dalam penanganan kasus seperti itu ternyata membutuhkan update ilmu yang dapat menangani penyakit yang tidak hanya satu aspek saja, tetapi secara keseluruhan (holistik). Hal itulah yang menguatkan keyakinan Dian untuk melanjutkan pendidikan di bidang Ilmu Penyakit Dalam.
-
Jadi Dokter PTT di Wilayah 3T
Saat angka kasus Covid-19 mulai menurun pada Agustus 2020, Dian memutuskan purna bakti dari Wisma Atlit dan melanjutkan karirnya dengan menjadi dokter PTT di Pulau Morotai. Sebuah pulau terpencil yang berada di ujung Maluku Utara.
Desa tempat Dian mengabdi berada di ujung Selatan Pulau Morotai yang harus dicapai dengan pesawat ATR dari Ternate menuju Daruba, ibukota Pulau Morotai, dengan waktu tempuh kurang lebih tiga puluh menit. Perjalanan tak berhenti sampai di situ. Dian masih harus menempuh perjalanan darat yang cukup ekstrim selama dua jam untuk sampai di desa tempatnya bertugas.
Selain bertugas di poli, visite rawat inap, dan on call UGD, Dian juga melakukan kegiatan puskesmas keliling ke pulau-pulau kecil wilayah tempat ia bekerja. Ia sangat menyukai kegiatan yang dilakukannya bersama tim perawat tersebut, meskipun Dian harus menerjang ombak untuk mencapai daerah tujuan.
Kegiatan tersebut mereka lakukan untuk dapat tetap melayani masyarakat yang sulit mencapai puskesmas karena jarak yang cukup jauh dan akses yang kurang memadai. Namun tantangan yang dihadapi Dian tak hanya itu. Kurangnya antusiasme masyarakat akan pentingnya kesehatan membuat mereka enggan datang ke puskesmas.
Beberapa kali Dian mendapati pasien yang datang ke UGD dengan keadaan penurunan kesadaran, dehidrasi berat, sepsis, kanker stasium lanjut, bahkan tidak sedikit yang membawa keluarganya dalam keadaan sudah kaku, dingin tanpa nadi untuk memastikan penyampaian breaking badnews.
Selama Dian bertugas di puskesmas rata-rata terdapat 2-3 pasien tidak tertolong akibat akses dari desa ke puskesmas yang sangat sulit dijangkau. Selain itu kurangnya pengetahuan masyarakat tentang tanda-tanda emergensi yang terjadi pada anggota keluraga mereka yang sakit juga menjadi tantangan tersendiri untuk perempuan yang hobi bermain gitar tersebut.
Tentu saja hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Dian tentang bagaimana memberikan edukasi kepada masyarakat dengan pola pikir yang masih primitif. Selain itu masalah lain juga datang dari makin tingginya angka morbiditas dan mortalitas di Pulau Morotai akibat terbatasnya sarana dan prasarana di rumah sakit dan fasilitas kesehatan tingkat 1.
Masalah tersebut berdampak kepada pasien-pasien dengan kasus emergensi maupun non-emergensi seperti sepsis, ketidakseimbangan elektrolit, penyakit tiroid dan masih banyak penyakit-penyakit lainnya yang tidak mampu tertangani dengan maksimal sehingga harus dirujuk ke Kota Ternate.
-
Dokter Relawan Gempa Ciajur
Gempa yang mengguncang Cianjur Jawa Barat baru-baru ini membuat Dian terpanggil untuk turun langsung menjadi relawan kesehatan bergabung dengan Yellow Clinic. Medan yang sulit, cuaca ekstrem dan gempa susulan yang kerap muncul di wilayah tersebut tak menciutkan nyalinya untuk tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada korban terdampak bencana gempa.
Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis
Dari banyaknya persoalan tersebut Dian menyimpulkan bahwa Indonesia dihadapkan dua tantangan besar yang menjadi perhatian pemerintah. Yaitu kurangnya SDM dokter dan maldistribusi tenaga dokter spesialis di Indonesia.
Lebih lanjut Dian menjelaskan bahwa berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan, kekurangan Internis (Dokter Spesialis Penyakit Dalam) merupakan terendah kedua setelah Obsgyn dengan kebutuhan nasional pada tahun 2022 yang ditargetkan berjumlah 8305 Internis.
Sementara saat ini jumlah Internis yang ada di Indonesia berada di angka 5724. Dari data tersebut dapat terlihat Indonesia masih kekurangan sebanyak 2581 tenaga Internis. Menurut Dian masalah tersebut bukanlah hal yang mudah untuk diatasi.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kurangnya SDM dokter spesialis di Indonesia, seperti kurangnya kuota calon pendidikan dokter spesialis yang diikuti jumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang membuka pendidikan spesialis yang masih sedikit.
Selain itu, maldistribusi tenaga dokter spesialis di Indonesia juga menjadi salah satu faktor utama yang berpengaruh pada kualitas pelayanan terhadap masyarakat, khususnya di daerah terpencil.
Lebih lanjut Dian memaparkan, berdasarkan data sebaran dokter spesialis di Indonesia, Provinsi Maluku Utara menempati urutan pertama dengan jumlah Internis paling sedikit yaitu 11 orang. Sementara RSUD Pulau Morotai hanya memiliki 1 orang dokter PNS Interna yang diperbantukan dari Kota Ternate.
Berdasarkan semua permasalahan tersebut, Dian mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam. “Oleh karena itu saya sangat termotivasi untuk mengisi peran sebagai dokter spesialis penyakit dalam, sehingga dapat memenuhi spesialistik di Indonesia,” ucapnya mantap.
Dian membayangkan dirinya di masa yang akan datang menjadi seorang Internis yang berkontribusi nyata dan terlibat aktif dalam pembangunan kesehatan di daerah dan pulau terpencil di Indonesia.
“Sejalan dengan pengembangan profesi tersebut, saya ingin terus meningkatkan keilmuan diri saya dengan melanjutkan Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 di pusat pendidikan terbaik di Indonesia,” lanjutnya.
Rencana Pascastudi
Dian berencana kembali untuk didayagunakan sebagai Internis di Pulau Morotai dengan mengaplikasikan rumpun ilmu yang diperolehnya selama pendidikan spesialis-1.
“Kegiatan pascastudi yang akan saya rencanakan nantinya merupakan akumulasi dari permasalahan yang saya temui selama ini dan belum terpecahkan atau belum mendapatkan solusi yang tepat,” ungkap Dian.
Dian juga menambahkan, bahwa dirinya akan meningkatkan sistem kesehatan dengan mengusulkan kepada pemerintah setempat dalam pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kompetensi yang ia miliki.
Sementara untuk memecahkan tantangan terberatnya menghadapi masyarakat pulau yang pola pikirnya masih primitif, Dian akan terus berusaha memberikan pengobatan terbaik serta edukasi yang terarah akan pentingnya kesehatan.
Sehingga diharapkan mampu sedikit demi sedikit mengubah pola pikir masyarakat pulau yang masih menganggap kejadian mistis sebagai dampak dari penyakit yang diderita.
Dian juga ingin memperkuat program bakti sosial dan penyuluhan kesehatan sebagai program rutin IDI Morotai, terutama di pulau-pulau kecil yang jarang tersentuh tenaga medis.
Harapan besar Dian menjadi seorang Internis sangatlah mulia. Ia ingin dapat memahami permasalahan pasien secara holistik dan tidak hanya terfokus pada penyakit pasien saja, tetapi juga memperhatikan faktor predisposisi yang menyebabkan penyakit tersebut terjadi.
Rencana Kontribusi untuk Indonesia ke Depannya
Dian masih punya harapan yang lebih besar dari seorang Internis. Ia masih memiliki cita-cita melanjutkan sub-spesialis di bidang Hematologi Onkologi Medik.
“Tujuan karir jangka panjang saya yaitu menjadi seorang professional di bidang ilmu penyakit dalam dan praktisi di bidang kebencanaan. Melanjutkan sub-spesialis di bidang Hematologi Onkologi Medik yang nantinya akan berguna sebagai praktisi kesehatan di Maluku Utara,” jelasnya.
Lebih lanjut Dian menambahkan bahwa ia ingin melakukan penelitian di bidang kanker dengan judul penelitian “Pemanfaatan Konsumsi Tuna Bagi Masyarakat Morotai dalam Pencegahan Kanker 5 Tahun ke Depan”.
Tak hanya itu, dokter yang pernah tergabung sebagai Tim Satgas Covid-19 & Tim Vaksinator Maluku Utara tersebut juga ingin memberikan pengabdian kepada masyarakat lewat Perencanaan Pembuatan Kapal Ambulance Pusling dan Klinik Apung untuk menjangkau pulau-pulau terpencil.
Selain itu Dian masih punya mimpi-mimpi besar untuk kontribusi untuk Indonesia di masa depan adalah dengan membangun Unit Peduli Respon di setiap desa pelosok, menggalakkan budaya mengkonsumsi hasil laut yang memiliki nilai gizi tinggi, pemanfaatan konsumsi ikan tuna sebagai upaya pencegahan kanker sejak dini, dan aktif dalam kegiatan Emergency Medical Team Ikatan Dokter Indonesia di setiap adanya kegiatan peduli respon bencana di Indonesia.
“Menempuh studi Program Pendidikan Dokter Spesialis semata-mata adalah bentuk ikhtiar saya memegang komitmen tersebut. Saya berharap semoga LPDP dapat menjadi jalan saya mewujudkan impian tersebut di masa mendatang,” tutupnya.(eck/red)