Fenomena Joki Strava tengah viral di kalangan anak muda. Mereka menggunakan jasa orang lain untuk mencetak prestasi olahraga palsu demi citra sosial. Simak dampaknya dan pandangan para ahli.
Womenpedia.id – Dunia olahraga digital tengah dihebohkan dengan kemunculan fenomena baru yang dikenal sebagai Joki Strava. Praktik ini melibatkan seseorang yang dibayar untuk melakukan aktivitas olahraga seperti lari atau bersepeda, namun menggunakan akun Strava milik orang lain. Hasilnya kemudian dipublikasikan seolah-olah itu merupakan capaian pribadi si pemilik akun.
Strava sendiri adalah aplikasi populer di kalangan pecinta olahraga yang memungkinkan penggunanya mencatat dan membagikan aktivitas fisik, termasuk rute, kecepatan, hingga kalori terbakar. Popularitas platform ini mendorong sebagian pengguna untuk berlomba-lomba menampilkan performa terbaiknya—bahkan dengan cara curang.
Prestasi Palsu Demi Citra Sosial
Fenomena ini banyak dilakukan oleh kalangan muda yang ingin tampil aktif dan sehat di media sosial, tanpa benar-benar melakukannya. Banyak dari mereka yang mengalami FOMO (Fear of Missing Out) atau takut tertinggal tren, sehingga memilih menggunakan jasa joki untuk mengejar validasi sosial secara instan.
“Motivasi utama dari penggunaan Joki Strava adalah pencitraan. Di era digital saat ini, pengakuan sosial sering kali dianggap lebih penting daripada proses atau usaha yang dilakukan,” jelas psikolog Meity Arianty dalam wawancara dengan media.
Tarif jasa joki bervariasi, mulai dari Rp50.000 hingga ratusan ribu rupiah tergantung jarak tempuh dan jenis aktivitas. Jasa ini biasanya ditawarkan melalui forum komunitas atau media sosial dengan janji pencapaian yang terlihat “natural”.
Risiko & Dampak Negatif Joki Strava
Praktik ini tidak hanya menyalahi etika olahraga, tapi juga membawa dampak psikologis negatif. Banyak pengguna yang akhirnya merasa cemas, bersalah, bahkan malu jika aksinya terbongkar.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hudaniah, menyebut fenomena ini mirip dengan penggunaan joki tugas kuliah. “Ini bentuk dari pencapaian semu. Ada kepuasan sesaat, tapi jangka panjangnya menimbulkan kecemasan dan kehilangan motivasi untuk berusaha secara nyata,” ungkapnya.
Dari sisi platform, Strava memiliki sistem deteksi aktivitas mencurigakan yang dapat memblokir akun atau menghapus rekor yang terbukti tidak valid.
Membangun Kembali Makna Olahraga
Pakar dan komunitas olahraga mengimbau agar pengguna kembali memahami esensi olahraga sebagai proses menyehatkan tubuh dan membentuk mental yang kuat, bukan sekadar ajang pamer pencapaian.
“Jangan biarkan media sosial merusak niat baik kita dalam menjaga kesehatan. Lebih baik pelan-pelan, tapi jujur dan konsisten,” ujar salah satu pelatih lari komunitas di Jakarta.
Fenomena Joki Strava menjadi cermin bagaimana tekanan sosial media bisa memengaruhi cara anak muda menilai diri dan pencapaian mereka. Di tengah kemajuan teknologi dan gempuran eksistensi digital, penting bagi generasi muda untuk tetap memegang nilai kejujuran, menghargai proses, dan mencintai olahraga karena manfaatnya yang sejati.