Aung San Suu Kyi, Pejuang Demokrasi Myanmar

Aung San Suu Kyi, Pejuang Demokrasi Myanmar
Aung San Suu Kyi perjuangkan tegaknya demokrasi di Myanmar (Foto: La Times)

Womenpedia.id – Politik Myanmar kembali memanas setelah pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi bersama tokoh-tokoh lain National League for Democracy (Persatuan Nasional untuk Demokrasi atau NLD) ditangkap oleh Militer atas tuduhan kecurangan pemilu pada Senin, 1 Februari 2021 silam.

Perempuan kelahiran Rangoon pada 19 Juni 1945 ini merupakan tokoh yang mendirikan pemerintahan sipil pertama di Myanmar dalam 50 tahun setelah kekuasaan militer. Suu Kyi menduduki tampuk kekuasaan pada tahun 2015 sejak kekuasaan militer berakhir pada tahun 2011.

Putri Pahlawan Myanmar  

Sepak terjang Aung San Suu Kyi ini ternyata diturunkan oleh sang Ayah, Aung San, pahlawan kemerdekaan Myanmar.

Read More

Jenderal Aung San dibunuh sebelum Myanmar  yang tewas dibunuh ketika dirinya berusia 2 tahun.

Kemudian, sang Ibu, Daw Khin Kyi, ketika itu merupakan duta besar Myanmar di Delhi memboyong putrinya ke India pada tahun 1960. Selanjutnya, Suu Kyi  belajar filsalfat, politik, dan ekonomi di Universitas Oxford, Inggris.

Tak Menyangka Terjun ke Politik

Saat belajar di Oxford, Suu Kyi bertemu dengan sang suami, Michael Aris. Kemudian, mereka menikah dan memiliki dua anak, Alexander dan Kim dan membesarkan mereka di Inggris. Namun, sejak sang ibu kritis, Suu Kyi pulang ke Yangon pada tahun 1988.

Di saat bersamaan, terjadi pergolakan politik yang melibatkan ribuan siswa, pekerja dan biksu yang menuntut reformasi demokrasi. Aksi tersebut ditanggapi pemimpin militer U Ne Win dengan cara brutal.

Di tengah puncak demonstrasi pada 26 Agustus 1988, Suu Kyi tampil berpidato di hadapan 500.000 orang yang berkumpul di halaman Pagoda Shwedagon menyerukan demokratisasi dan memimpin perlawanan terhadap diktator, Jenderal Ne Win.

Kampanye yang dijalankannya meniru para pemimpin hak-hak sipil AS Martin Luther King dan Mahatma Gandhi dari India, yakni melakukan aksi unjuk rasa yang menyerukan reformasi demokrasi damai dan pemilu yang bebas. Namun, demokrasi dicekal oleh tentara yang merebut kekuasaan dalam kudeta 18 September 1988.

Dianugerahi Nobel Perdamaian

Pemerintah militer mengadakan pemilihan nasional pada Mei 1990 dan dimenangkan NLD Suu Kyi. Namun, keputusan itu ditolak junta dan dirinya menjadi tahanan rumah di Yangon selama enam tahun.

Suu Kyi tidak hanya populer di kalangan rakyat Myanmar, ia menjelma menjadi ikon pahlawan bagi orang-orang tertindas akibat militerisme dan rezim otoriter. Ia pun diganjar Novel Perdamaian pada 14 Oktober 1991.

Meski demikian, militer membatasi gerak Suu Kyi seperti ketika dirinya hendak berjumpa dengan dua putranya dan suaminya, yang meninggal pada Maret 1999. Meski ketika itu ada tawaran ke Inggris, rupanya dirinya memilih tetap di Myanmar karena takut tidak bisa kembali lagi ke negara tersebut.

Ketika dirinya melakukan perjalanan ke kota Mandalay, ia kembali ditahan karena dianggap melanggar. Setelah sempat dibebaskan tanpa syarat Mei 2002, militer kembali menahannya satu tahun kemudian.

Pemimpin Kontroversi

Kisah pengasingan Suu Kyi dari pemilihan pertama Myanmar dalam dua dekade pada 7 November 2010, tetapi dibebaskan dari tahanan rumah enam hari kemudian dan ketika sang putra, Kim dapat mengunjungi sang ibu dalam 10 tahun ini diakui oleh komunitas internasional sebagai perjuangan pribadi Suu Kyi membawa demokrasi di Myanmar.

Tepat pada tahun 2015, Suu Kyi dinobatkan sebagai presiden, namun karena memiliki anak berkewarganegaraan asing, maka digelari sebagai penasihat negara. Sementara itu, Presidenn Myanmar dipegang oleh Win Myint hingga kudeta 2021.

Sayang, sejak dirinya menjadi penasihat negara Myanmar, dirinya justru melakukan hal kontroversial dengan membiarkan terjadinya kekerasaan pada kelompok minoritas Rohingya, didominasi umat Muslim.

Sejak tahun 2017, ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Gelombang pencari suaka ini terjadi karena tindakan keras militer yang dipocu oleh serangan mematikan di kantor polisi di negara bagian Rakhine.

Kini Myanmar menghadapi tuntutan telah melakukan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ). Pengadilan Kriminal Internasional tengah menyelidiki kejahatan terhadap kemanusiaan.

Suu Kyi tidak melakukan apapun terhadap tindakan tersebut seperti pemerkosaan, pembunuhan, hingga kemungkinan genosida. Ia dianggap meremehkan konflik Rohingya. Bahkan, sejumlah kalangan menuntut agar Nobel Perdamain dicabut.

Related posts